
Sejarah dan Kejayaan Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan – Kerajaan Gowa merupakan salah satu kerajaan besar yang pernah berjaya di wilayah timur Indonesia, tepatnya di Sulawesi Selatan. Kerajaan ini memiliki sejarah panjang yang penuh dengan kisah kepemimpinan, peperangan, dan perkembangan kebudayaan. Awalnya, Gowa hanyalah kerajaan kecil yang terletak di wilayah pesisir selatan Pulau Sulawesi, namun dalam perkembangannya berhasil menjadi kerajaan maritim yang kuat dan berpengaruh di Nusantara bagian timur.
Menurut catatan sejarah dan naskah Lontara Gowa, kerajaan ini berdiri sekitar abad ke-14. Pendiri pertamanya dikenal dengan nama Tumanurung Baine, seorang tokoh legendaris yang dipercaya turun dari langit untuk memimpin rakyat Gowa. Ia kemudian menikah dengan seorang bangsawan setempat, dan dari keturunannya inilah lahir raja-raja Gowa berikutnya.
Pada awal berdirinya, Kerajaan Gowa hanya merupakan gabungan dari beberapa kampung kecil yang kemudian membentuk aliansi politik dan pertahanan. Namun seiring berjalannya waktu, kerajaan ini berkembang pesat karena letaknya yang strategis di pesisir, menjadikannya pusat perdagangan dan pelabuhan penting di wilayah timur Nusantara.
Kemudian, Gowa bersekutu dengan Kerajaan Tallo, dan kedua kerajaan tersebut membentuk kekuatan besar yang dikenal dengan nama Kerajaan Kembar Gowa-Tallo. Persatuan ini membuat wilayah kekuasaan Gowa semakin luas dan menjadikannya salah satu kekuatan maritim terbesar di Indonesia bagian timur pada masa itu.
Masa Kejayaan di Bawah Kepemimpinan Sultan Hasanuddin
Puncak kejayaan Kerajaan Gowa terjadi pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin, yang memerintah pada pertengahan abad ke-17. Ia dikenal sebagai “Ayam Jantan dari Timur” karena keberaniannya dalam menghadapi penjajahan Belanda (VOC). Di bawah kepemimpinannya, Gowa menjadi kerajaan besar yang disegani, baik dari segi kekuatan militer maupun pengaruh politiknya.
Sebelum masa Sultan Hasanuddin, Gowa sudah menunjukkan perkembangan yang pesat, terutama pada masa Raja Tunipallangga Ulaweng dan Raja Tuniparisi Kallonna. Mereka berhasil memperluas wilayah kekuasaan Gowa hingga mencakup sebagian besar wilayah Sulawesi Selatan, termasuk Bone, Luwu, dan Soppeng. Selain itu, Gowa juga menjalin hubungan diplomatik dengan kerajaan-kerajaan lain di luar Sulawesi, seperti Ternate, Tidore, bahkan hingga Maluku dan Jawa.
Salah satu peristiwa penting dalam sejarah Kerajaan Gowa adalah masuknya Islam pada awal abad ke-17. Islam diperkenalkan oleh Datuk Ribandang, Datuk Patimang, dan Datuk Tiro, tiga ulama asal Minangkabau. Raja Gowa saat itu, Sultan Alauddin, menerima ajaran Islam dan menjadi raja pertama yang memeluk agama Islam di Gowa. Sejak saat itu, Gowa menjadi salah satu pusat penyebaran Islam di kawasan timur Indonesia.
Kekuatan maritim Kerajaan Gowa juga tidak bisa diremehkan. Pelabuhan Somba Opu menjadi pusat perdagangan internasional yang ramai. Pedagang dari Arab, Cina, India, dan Eropa datang untuk melakukan pertukaran barang seperti rempah-rempah, beras, kain, dan emas. Kapal-kapal Gowa menguasai perairan sekitar Sulawesi, Maluku, hingga Nusa Tenggara.
Namun, kejayaan ini menarik perhatian VOC yang ingin menguasai perdagangan rempah-rempah di Indonesia. Perselisihan antara Gowa dan VOC pun memuncak menjadi perang besar, yaitu Perang Makassar (1666–1669).
Dalam perang tersebut, Sultan Hasanuddin berjuang keras melawan pasukan Belanda yang dibantu oleh Arung Palakka dari Kerajaan Bone. Meskipun Gowa akhirnya kalah dan harus menandatangani Perjanjian Bongaya (1667), semangat perjuangan Sultan Hasanuddin tetap dikenang sebagai simbol keberanian dan semangat anti-penjajahan.
Warisan dan Pengaruh Kerajaan Gowa
Meskipun kekuasaannya menurun setelah perang melawan Belanda, warisan budaya dan sejarah Kerajaan Gowa tetap hidup hingga kini. Banyak peninggalan bersejarah yang masih bisa ditemui, salah satunya adalah Benteng Somba Opu, yang dahulu menjadi pusat pemerintahan sekaligus benteng pertahanan Gowa.
Benteng ini dibangun dari campuran batu karang dan tanah liat, menjadikannya salah satu struktur pertahanan terkuat di masanya. Di dalamnya terdapat kompleks istana, gudang senjata, dan pelabuhan yang ramai. Kini, Benteng Somba Opu telah direstorasi dan dijadikan objek wisata sejarah yang ramai dikunjungi di Makassar.
Selain itu, peninggalan berupa sistem pemerintahan dan hukum adat Gowa juga menjadi warisan berharga. Raja-raja Gowa dikenal memerintah dengan bijaksana dan menegakkan hukum berdasarkan keadilan. Nilai-nilai tersebut masih tercermin dalam budaya masyarakat Bugis-Makassar yang menjunjung tinggi kejujuran, keberanian, dan kehormatan.
Dari segi budaya, Gowa turut berperan besar dalam perkembangan bahasa dan kesenian Makassar. Tarian tradisional, musik, serta upacara adat yang berasal dari masa kerajaan masih dilestarikan hingga kini. Bahkan, banyak istilah dalam bahasa Makassar yang berasal dari kosakata kerajaan dan digunakan secara luas di Sulawesi Selatan.
Dalam bidang keagamaan, peran Gowa dalam penyebaran Islam juga sangat besar. Setelah Raja Gowa memeluk Islam, ajaran agama ini menyebar ke berbagai daerah lain di Sulawesi dan kawasan timur Indonesia. Masjid-masjid tua peninggalan masa kerajaan masih berdiri kokoh, menjadi saksi penyebaran Islam di masa lalu.
Kesimpulan
Kerajaan Gowa adalah salah satu simbol kejayaan dan kekuatan bangsa Indonesia di masa lampau, khususnya di kawasan timur Nusantara. Dari kerajaan kecil di pesisir selatan Sulawesi, Gowa tumbuh menjadi kekuatan besar yang menguasai perdagangan dan lautan.
Di bawah kepemimpinan tokoh-tokoh hebat seperti Sultan Alauddin dan Sultan Hasanuddin, Kerajaan Gowa mencapai masa keemasan dan meninggalkan jejak sejarah yang mendalam. Meski akhirnya harus menghadapi kekalahan melawan VOC, semangat juang rakyat Gowa tidak pernah padam.
Hingga kini, warisan sejarah, budaya, dan nilai-nilai kepemimpinan dari Kerajaan Gowa masih hidup dalam kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan. Gowa bukan sekadar catatan sejarah, melainkan cermin kejayaan masa lalu dan inspirasi bagi generasi masa kini untuk terus menjaga semangat perjuangan dan kebanggaan akan warisan nenek moyang.