
Perjuangan Pattimura dalam Melawan Penindasan Belanda – Perang Pattimura merupakan salah satu peristiwa heroik dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan Belanda. Perang ini terjadi di wilayah Maluku pada tahun 1817 dan dipimpin oleh seorang tokoh pemberani bernama Thomas Matulessy, yang lebih dikenal dengan sebutan Kapitan Pattimura. Perlawanan ini muncul sebagai bentuk ketidakpuasan dan kemarahan rakyat terhadap kebijakan kolonial Belanda yang menindas dan merampas hak-hak masyarakat Maluku.
Sebelum perlawanan meletus, rakyat Maluku hidup dalam tekanan hebat akibat penjajahan yang dilakukan oleh VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) dan kemudian dilanjutkan oleh pemerintahan Hindia Belanda. Belanda memaksakan sistem monopoli perdagangan rempah-rempah, terutama pala dan cengkeh, yang merupakan hasil utama dari kepulauan Maluku. Rakyat dipaksa menjual hasil bumi mereka dengan harga murah kepada Belanda, bahkan banyak perkebunan dihancurkan agar tidak ada pihak lain yang bisa berdagang selain mereka.
Ketika Inggris sempat menguasai Maluku pada tahun 1810–1816, kehidupan masyarakat sedikit membaik karena Inggris memperlakukan penduduk dengan lebih adil. Namun setelah Belanda kembali berkuasa pada tahun 1816, mereka menerapkan kembali sistem monopoli dan kerja paksa yang sangat memberatkan rakyat. Situasi inilah yang memicu kemarahan besar dan melahirkan semangat perlawanan di kalangan rakyat Maluku, terutama di Pulau Saparua.
Thomas Matulessy, seorang mantan prajurit yang pernah bekerja untuk Inggris, muncul sebagai pemimpin rakyat. Ia dikenal berani, cerdas, dan memiliki jiwa kepemimpinan yang kuat. Bersama para tokoh lokal lainnya seperti Anthony Reebok, Paulus Tiahahu, dan Martha Christina Tiahahu, Pattimura mulai menyusun strategi untuk melawan penindasan Belanda.
Puncak kemarahan rakyat terjadi pada 16 Mei 1817, ketika mereka menyerbu Benteng Duurstede di Saparua. Dalam serangan itu, pasukan Pattimura berhasil menaklukkan benteng dan membunuh Residen van den Berg, pejabat Belanda yang terkenal kejam terhadap rakyat. Keberhasilan ini menjadi simbol kemenangan besar dan memicu perlawanan rakyat di berbagai wilayah Maluku lainnya.
Jalannya Perang dan Akhir Perlawanan Pattimura
Setelah penyerangan terhadap Benteng Duurstede, pasukan Pattimura semakin bersemangat. Rakyat dari berbagai pulau seperti Nusalaut, Haruku, dan Seram turut bergabung dalam perjuangan. Mereka memanfaatkan pengetahuan tentang medan hutan dan laut untuk melancarkan serangan gerilya terhadap pasukan Belanda.
Namun, pihak Belanda tidak tinggal diam. Mereka segera mengirimkan bala bantuan dari Ambon dengan kekuatan militer yang lebih besar dan persenjataan yang lebih modern. Pertempuran demi pertempuran terjadi, dan walaupun rakyat Maluku berjuang dengan gagah berani, mereka kesulitan menghadapi pasukan Belanda yang memiliki kapal perang, meriam, dan logistik lebih lengkap.
Salah satu tokoh penting dalam perjuangan ini adalah Martha Christina Tiahahu, gadis muda yang turut bertempur di medan perang bersama ayahnya, Paulus Tiahahu. Keberanian dan semangat juangnya menginspirasi banyak rakyat untuk terus melawan meskipun keadaan semakin sulit.
Belanda akhirnya berhasil merebut kembali Benteng Duurstede dan mengejar para pemimpin perlawanan. Pada 11 November 1817, Thomas Matulessy dan beberapa pengikutnya tertangkap setelah dikhianati oleh orang yang bekerja sama dengan Belanda. Setelah ditangkap, Pattimura dan para pejuang lainnya dijatuhi hukuman mati oleh pemerintah kolonial.
Pada 16 Desember 1817, Pattimura digantung di depan rakyat Saparua sebagai bentuk intimidasi agar tidak ada lagi yang berani melawan kekuasaan Belanda. Meskipun demikian, kematiannya tidak memadamkan semangat perjuangan rakyat Maluku. Justru sebaliknya, nama Pattimura menjadi simbol keberanian, pengorbanan, dan semangat perlawanan terhadap penjajahan.
Makna dan Warisan Perjuangan Pattimura
Perjuangan Pattimura memiliki makna yang sangat mendalam dalam sejarah bangsa Indonesia. Ia tidak hanya melawan penjajahan fisik, tetapi juga menentang ketidakadilan dan keserakahan kolonialisme. Perang Pattimura menunjukkan bahwa semangat kebebasan dan keadilan telah hidup di hati rakyat Indonesia jauh sebelum kemerdekaan diproklamasikan.
Semangat kebersamaan dan persatuan rakyat Maluku dalam menghadapi penindasan menjadi teladan bagi perjuangan di daerah lain. Rakyat yang berbeda suku, agama, dan status sosial bersatu di bawah satu tujuan: membebaskan tanah air dari penjajahan. Nilai-nilai ini kemudian menjadi dasar dalam perjuangan nasional Indonesia pada abad ke-20.
Pemerintah Republik Indonesia menghargai jasa besar Thomas Matulessy dengan menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 1973. Namanya diabadikan menjadi Pahlawan Pattimura, dan tanggal 15 Mei diperingati setiap tahun sebagai Hari Pattimura di Maluku. Banyak sekolah, universitas, dan jalan di Indonesia yang juga menggunakan namanya sebagai penghormatan atas jasanya.
Perjuangan Pattimura juga meninggalkan pesan moral bagi generasi muda Indonesia: bahwa keberanian dan semangat pantang menyerah sangat dibutuhkan dalam menghadapi segala bentuk penindasan, baik fisik maupun mental. Nilai-nilai perjuangan itu tidak boleh hilang, karena kemerdekaan yang dinikmati saat ini merupakan hasil dari darah dan air mata para pejuang seperti Pattimura.
Kesimpulan
Perang Pattimura tahun 1817 adalah salah satu peristiwa penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap penjajahan Belanda. Dipimpin oleh Thomas Matulessy, rakyat Maluku dengan gagah berani melawan penindasan dan ketidakadilan kolonial. Meskipun perlawanan itu berakhir dengan kekalahan, semangat juang dan pengorbanan Pattimura tidak pernah padam.
Perjuangan Pattimura mengajarkan arti persatuan, keberanian, dan keikhlasan berkorban untuk tanah air. Ia menjadi simbol perjuangan rakyat Indonesia dalam melawan penindasan dan memperjuangkan kemerdekaan. Hingga kini, nama Pattimura tetap dikenang sebagai pahlawan sejati yang rela mengorbankan nyawa demi kebebasan bangsanya. Semangatnya terus hidup dalam setiap langkah perjuangan bangsa Indonesia menjaga dan mengisi kemerdekaan.