
Perlawanan Rakyat Surabaya pada 10 November 1945 – Tanggal 10 November 1945 menjadi salah satu momen paling bersejarah dalam perjuangan bangsa Indonesia mempertahankan kemerdekaan. Peristiwa ini dikenal sebagai pertempuran besar antara rakyat Surabaya melawan pasukan Sekutu yang dipimpin oleh Inggris dan Belanda. Pertempuran tersebut bukan hanya mencerminkan keberanian, tetapi juga menunjukkan semangat perlawanan rakyat terhadap penjajahan yang ingin kembali menguasai Indonesia pasca Proklamasi 17 Agustus 1945.
Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, situasi dalam negeri belum sepenuhnya stabil. Belanda, yang sebelumnya dijajah Jepang, berusaha kembali menguasai wilayah Hindia Belanda dengan bantuan Sekutu, khususnya pasukan Inggris di bawah pimpinan AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies). Pasukan Inggris masuk ke Indonesia dengan alasan melucuti tentara Jepang dan membebaskan tawanan perang, namun mereka juga membawa serta NICA (Netherlands Indies Civil Administration) yang bertujuan memulihkan kekuasaan Belanda di tanah air.
Kedatangan pasukan Sekutu di Surabaya pada bulan Oktober 1945 disambut dengan kecurigaan dan penolakan dari rakyat. Ketegangan memuncak setelah insiden Hotel Yamato pada 19 September 1945, ketika rakyat Surabaya menurunkan bendera Belanda yang dikibarkan oleh warga Belanda di hotel tersebut. Insiden ini menjadi pemicu semangat nasionalisme dan perlawanan yang semakin kuat.
Puncaknya terjadi pada 30 Oktober 1945, ketika pemimpin pasukan Inggris, Brigadir Jenderal Mallaby, tewas dalam sebuah insiden di Surabaya. Kematian Mallaby membuat pihak Inggris murka dan mengeluarkan ultimatum agar rakyat Surabaya menyerah dan menyerahkan senjata mereka paling lambat pada 9 November 1945. Ultimatum tersebut ditolak mentah-mentah oleh rakyat dan pemuda Surabaya. Mereka memilih melawan, dan pecahlah pertempuran besar pada 10 November 1945.
Jalannya Pertempuran dan Semangat Juang Rakyat Surabaya
Pertempuran 10 November 1945 dimulai sejak pagi hari, ketika pasukan Inggris melancarkan serangan ke berbagai titik di Surabaya. Serangan dilakukan dengan kekuatan penuh, termasuk artileri berat, tank, dan pesawat tempur. Wilayah-wilayah strategis seperti pelabuhan, jembatan, kantor pemerintahan, hingga perumahan warga menjadi sasaran tembakan.
Meski bersenjata ringan dan tidak sebanding dari segi kekuatan militer, rakyat Surabaya tidak gentar. Mereka terdiri dari berbagai elemen: pemuda, laskar rakyat, tentara Indonesia (TKR), dan masyarakat sipil. Dipimpin oleh tokoh-tokoh penting seperti Bung Tomo, rakyat Surabaya menunjukkan perlawanan yang sangat gigih. Seruan Bung Tomo melalui siaran radio saat itu membakar semangat juang dan nasionalisme seluruh pejuang. Kalimat legendaris “Merdeka atau Mati!” menjadi pemantik gelora perjuangan.
Perlawanan rakyat berlangsung selama kurang lebih tiga minggu, dari 10 hingga akhir November 1945. Meskipun akhirnya pasukan Sekutu berhasil menguasai sebagian besar kota Surabaya, semangat juang rakyat tidak pernah padam. Pertempuran ini menelan korban jiwa dalam jumlah besar. Diperkirakan lebih dari 6.000 rakyat Indonesia gugur, dan ribuan lainnya luka-luka atau kehilangan tempat tinggal.
Salah satu aspek paling penting dari peristiwa ini adalah keterlibatan luas masyarakat sipil. Banyak warga biasa yang bergabung dalam perlawanan, dari pelajar, petani, buruh, hingga ulama dan santri. Tidak sedikit pula wanita yang turut mendukung logistik, merawat korban luka, dan menyuplai makanan ke garis depan.
Pertempuran 10 November juga memberikan dampak psikologis besar terhadap dunia internasional. Dunia mulai memperhatikan bahwa Indonesia benar-benar ingin mempertahankan kemerdekaannya, dan bahwa rakyat Indonesia siap berjuang habis-habisan melawan segala bentuk penjajahan. Perlawanan rakyat Surabaya menjadi simbol dari keteguhan dan keberanian rakyat Indonesia secara keseluruhan.
Kesimpulan
Perlawanan rakyat Surabaya pada 10 November 1945 bukan hanya sekadar peristiwa militer, melainkan simbol perjuangan seluruh rakyat Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan. Meski menghadapi kekuatan militer Sekutu yang jauh lebih unggul, rakyat tidak menyerah. Mereka menunjukkan bahwa semangat kemerdekaan, keberanian, dan persatuan bisa menjadi kekuatan luar biasa dalam melawan penjajahan.
Pertempuran tersebut menjadi dasar diperingatinya Hari Pahlawan setiap tanggal 10 November, sebagai bentuk penghargaan atas jasa para pejuang yang telah mengorbankan jiwa dan raga demi tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Semangat perjuangan rakyat Surabaya harus terus hidup di dalam hati generasi muda Indonesia sebagai motivasi untuk terus menjaga kemerdekaan, membangun bangsa, dan mempertahankan nilai-nilai kebangsaan di tengah tantangan zaman.